Harakah.id – Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa caranya adalah dengan memahami dan menghayati hakikat segala apa yang dibaca dan dikerjakan dalam salat.
Salat adalah ibadah yang paling mulia di sisi Allah. Bagaimanapun keadaannya, salat tidak boleh ditinggalkan. Bahkan dalam keadaan darurat sekalipun. Semua orang yang bernyawa harus melaksanakannya.
Ada sekian banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar kewajiban salat, salah satunya adalah: “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 43)
Karena begitu penting dan mulianya salat, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salatnya. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi.” (HR. Tirmidzi)
Yang harus dicatat, dalam pelaksanaannya, salat hendaknya tidak saja dilakukan secara lahir, namun juga batin (Tafsir Al-Sa’di). Sehingga selain “menggerakkan lisan (merapal bacaan tertentu) dan badan”, seseorang juga harus “menggerakkan hati” juga ketika salat.
Dengan demikian, salat yang dilakukan akan benar-benar berdampak pada akhlak dan perilaku pengamalnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “…Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar…” (QS. al-Ankabut [29]: 45)
Hal ini karena ketika melaksanakan salat secara zahir batin itu, seseorang akan menyadari tentang keagungan dan ke-Mahabesar-an Allah. Sehingga tidak mungkin ia akan durhaka kepada-Nya (HR. Al-Tirmidzi).
Tanpa bermaksud mengesampingkan hal-hal terkait “menggerakkan badan dan lisan”, agaknya “menggerakkan hati” lebih urgen untuk diketahui. Pertanyannya, bagaimana caranya?
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa caranya adalah dengan memahami dan menghayati hakikat segala apa yang dibaca dan dikerjakan dalam salat.
Untuk yang pertama, tentu tidak ada cara yang bisa ditempuh kecuali memahami makna bacaan tersebut, baik secara global, lebih-lebih secara terperinci. Atau jika hal tersebut sukar dilakukan, agaknya terjemahan dari bacaan-bacaan itu bisa menjadi solusi (meskipun harus diakui, terjemah tidak bisa menjelaskan makna secara utuh).
Sedangkan untuk yang kedua, seseorang bisa melakukannya dengan ‘begitu mudah’, yakni menggunakan akalnya. Salah satunya, misalnya, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Ustadz Arrazy Hasyim (https://youtu.be/GOHBudCSFto).
Ia mengatakan bahwa ketika salat, seseorang akan meletakkan kepalanya di bawah (maaf) bokong atau pantatnya. Ini menegaskan bahwa sejatinya, ketika di hadapan Allah, kecerdasan setinggi apapun tak akan ada gunanya.
“Maka orang-orang ini dihina orang tidak akan marah. Kenapa? Dia sendiri telah menghinakan dirinya di hadapan Allah Ta’ala,” terang Buya.
Ketika melaksanakan salat berjemaah, lanjut Buya, dan ia berada di shaf (barisan) nomor dua, maka sejatinya ia sedang dibelakangi oleh orang yang berada di shaf depannya. Hal demikian bermakna, ia sudah menghina dirinya sendiri. Sehingga tidak wajar bila ia mudah tersinggung bila ada yang mengusiknya.
Ustadz Arrazy Hasyim mengatakan, “Tapi kenapa kemudian jika disinggung orang sedikit ngamuk. Ini (ada) yang tidak wajar di qalbu. Berarti belum shalih (baik). Qalbunya belum shalih.”
Walhasil, salat adalah ibadah yang wajib bagi seluruh umat Islam. Agar memiliki dampak bagi kehidupan pelakunya, maka ia harus dikerjakan dengan segenap kesadaran dan pemaknaan yang tepat. Wallau a’lam.