Harakah.id – Orientalisme telah mengambil tempat tersendiri dalam kajian keislaman. Di Indonesia, mungkin juga bagian lain dunia Islam, orientalis sering dikonotasikan negatif. Apa alasan para orientalis mengkaji dunia Islam?
Orientalisme telah mengambil tempat tersendiri dalam kajian keislaman. Di Indonesia, mungkin juga bagian lain dunia Islam, orientalis sering dikonotasikan negatif. Pengalaman masa lalu interaksi umat Islam dengan orientalisme berkontribusi dalam pembentukan pandangan negatif ini. Tidak sedikit umat Islam yang berpandangan bahwa orientalisme identik dengan penjajahan dan upaya kristenisasi terhadap umat Islam. Karenanya, muatan negatifnya cukup kental dalam kata orientalis(me).
Di Barat, sejak tahun 80-an, orientalisme telah mulai dipertanyakan karena ia mengandung elemen rasisme, dominasi, dan kononial. Edwar Said melalui bukunya Orientalism membongkar modus operandi para orientalis; menggunakan pengetahuan untuk mendukung proyek kolonialisasi.
Orientalisme mengandung dua dimensi; positif dan negatif. Positif karena melalui beberapa orientalisme, sejumlah literatur dan artefak budaya dapat dinikmati oleh orang-orang yang hidup saat ini. Negatifnya, karena penguasaan kebudayaan oleh lembaga pengetahuan di Barat, rentan digunakan untuk tujuan politik tertentu seperti kolonialisme. Hamdi Zaqzuq menelaah dua dimensi orientalisme tersebut. Sekalipun pada mulanya dicurigai, namun dimensi akademis orientalisme, metodologi dan produk pengetahuannya, pada akhirnya diterima oleh umat Islam. Sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi pada abad modern.
Para cendekiawan Muslim yang mengkaji tentang orientalisme sepakat bahwa tidak ada motif tunggal atau tujuan tunggal dalam munculnya orientalisme. Pada umumnya, para pengkaji yang fokus menguak tujuan dan motif orientalisme melakukan kajian yang bersifat struktural.
Muhammad Ali, University of California, dalam artikel berjudul “The Current Studies of Muhammad and His Hadith In The West and Indonesia” (2017) menulis: “Non-Muslim Westerners and Muslim authors in the West and in contemporary Indonesia have had various motives and objectives of studying Muhammad and His Tradition and Reports: ideological, academic, humanist, and a mixture of these. Polemical motives, critical sympathy, reconciliatory synthesis, and humanistic sympathy in their tones may be discerned.” (Sarjana non-Muslim, penulis Muslim di Barat dan penulis Muslim di Indonesia kontemporer punya beragam motivasi dan dan tujuan dalam mengkaji tentang Muhammad, Sunnah, dan laporan tentangnya meliputi; tujuan ideologis, akademis, humanis, dan campuran. Motif berpolemik, kritik simpatik, rekonsiliasi sintesis, dan humanistic-simpati).
Aan Sopian menyimpulkan ada empat kategori motivasi orientalisme: motivasi agama-misionaris, motivasi politik-imperialis, bisnis-komersial, dan akademik-ilmiah (Studi Hadis di Kalangan Orientalisme, Jurnal Nuansa, 2016).
Salim Kerbouo dalam artikel berjudul “From Orientalism to neo-Orientalism: Early and contemporary constructions of Islam and the Muslim world” (2016) meneliti trend dan pergerseran orientalisme. Pada mulanya, orientalisme berpusat di Eropa. Kerangka paradigmatic yang digunakan adalah imperealisme paradigm. Tujuannya adalah untuk menciptakan dominasi dan kolonialisasi negara-negara non-Eropa. Sejak Perang Dunia II berakhir, orientalisme bergeser ke Amerika Utara. Muncul trend baru orientalisme yang disebut American Orientalism. Paradigma yang digunakan adalah paradigma perang dingin. Dimana seluruh sumber daya dan perspektif digunakan untuk melawan ideologi komunisme; mendukung kebijakan geostrategik Amerika Serikat. Setelah komunisme Soviet runtuh pada tahun 90-an, muncul trend baru dalam kesarjanaan orientalis; yaitu neo-orientalism. Neo-orientalisme mengambil lawan baru; anasir dunia Islam yang dinilai dapat menjadi ancaman potensial bagi kepentingan Amerika dan Israel. Paradigma yang digunakan adalah paradigma “Perang melawan terror”. Tujuannya adalah mengamankan kepentingan Israel.
Analisis Kerbouo di atas menampilkan orientalisme sebagai entitas statis; yaitu bertujuan melayani jenis kekuasaan tertentu. Bagi kesarjanaan Muslim, perspektif ini rentan menimbulkan bias dan kecurigaan berlebihan. Padahal, jauh sebelum itu, Hamdi Zaqzuq telah mengembangkan sikap yang cenderung objektif dalam memandang fenomena orientalisme. Orientalisme bukan entitas yang statis dan tertutup. Muslim dapat terlibat dalam arus kesarjanaan ini, berkarir di institusi-institusi pendidikan tinggi di negara-negara Barat serta mengembangkan riset-riset akademik yang lebih kontributif bagi pengembangan peradaban manusia di masa depan.
Demikian sedikit ulasan tentang alasan para orientalis meneliti Islam dan umat Islam hingga menghabiskan umur mereka. Semoga ulasan tentang alasan para orientalis ini menambah wawasan kita semua.