Harakah.id – Manajemen waktu dibutuhkan agar seseorang mampu membagi waktunya dengan tepat dan menggunakannya secara produktif untuk bekerja serta berkarya. Tanpa manajemen waktu, seseorang tidak akan pernah mampu menunaikan segala impian dan cita-citanya.
Imam Ibnu Jarir at-Thabari merupakan guru besar Ilmu Tafsir, Ilmu Hadist, ahli sejarah, dan seorang imam yang mulia. Beliau dilahirkan pada tahun 224 H, dan wafat pada tahun 310 H. Beliau hidup selama 86 tahun. Jika kita kurangi usia Beliau sebelum Beliau baligh, andai sekitar 14 tahun, berarti yang tersisa dari usia Beliau adalah 72 tahun dengan setiap hari menyusun 14 lembar tulisan. Kalau ditotal jumlah hari selama 72 tahun dan kita hitung setiap harinya menulis 14 lembar maka total karya Beliau adalah 358.000 lembar.
Para ulama menghitung masing-masing dari kitab tarikh dan tafsir Beliau sejumlah 3000 lembar. Kedua kitab itu total berjumlah 7000 hingga 8000 lembar. Dalam kondisi kitab yang tercetak, kitab tarikh Beliau hadir dalam 11 jilid besar. Sementara kitab tafsirnya tercetak dalam 30 jilid besar.
Dengan demikian, sangat luar biasa hasil karya dari Imam satu ini yang dalam kapasitas keilmuannya setara dengan sebuah perpustakaan besar dengan berbagai disiplin ilmu di dalamnya. Padahal itu hasil karya satu orang saja, dengan penanya sendiri yang ditulis dengan tangannya sendiri.
Semua itu tak mungkin beliau lakukan jika ia tak mampu memanajemen waktu dan tidak mengetahui bagaimana cara mengisi waktu-waktu dalam hidupnya dengan berbagai pelajaran yang dituangkan dalam penyusunan karya ilmiah. Beliau merupakan salah satu ulama yang sangat berhasil dalam mengatur waktu sehingga sangat produktif.
Beliau mengisi waktu dengan belajar, mengajar, membaca, menulis, dan menyusun karya ilmiah. Kemudian dengan keberhasilannya Beliau mampu menghasilkan karya ilmiah yang begitu berkualitas dan menjadi rujukan banyak orang.
Al-Qadhi Abu Bakar bin Kamil, murid sekaligus sahabat Ibnu Jarir pernah menggambarkan kemampuan Ibnu Jarir dalam manajemen waktu dan aktivitasnya. Ia menceritakan, “Bila makan siang telah selesai, Beliau tidur dengan mengenakan khaisy, sejenis pakaian yang bahannya tipis, jahitannya kasar, dibuat dari sisa-sisa bahan katun. Baju ini dipakai saat cuaca panas karena bahannya terasa dingin di tubuh. Beliau juga mengenakan sejenis gamis berlengan pendek, diwarnai dengan campuran daun cendana dan air mawar.
Kemudian Beliau bangun dan menunaikan salat zuhur. Beliau menyusun tulisan hingga tiba waktu Ashar. Kemudian Beliau keluar dan salat ashar. Setelah itu Beliau memberi pengajaran kepada kaum muslimin, membacakan hadis, atau menyimak murid-muridnya setoran hafalan hadis. Hal tersebut Beliau lakukan hingga waktu maghrib.
Setelah salat maghrib Beliau duduk lagi memberi pengajaran dalam bidang fiqih dan pelajaran lain hingga waktu isya di waktu takhir (sepertiga malam pertama). Barulah setelah itu Beliau pulang ke rumahnya. Beliau telah membagi-bagi waktu Beliau untuk kemaslahatan dirinya pribadi, umat manusia, dan agamanya sesuai petunjuk yang diberikan Allah kepadanya”
Ustadz Muhammad Kurd Ali menuturkan dalam kitabnya Kunuzul Ajdad halaman 123 terkait dengan biografi Imam at-Thabari, “Tak pernah dikisahkan dari Beliau, bahwa Beliau menyia-nyiakan waktu satu menit pun sepanjang hidup Beliau selain untuk belajar dan mengajar.”
Al-Mu’aia bin Zakariya meriwayatkan dari sebagian orang yang tsiqah yang ikut hadir saat menjelang wafatnya Imam at-Thabari bahwa saat Ja’far bin Muhammad membacakan doa kepada Imam at-Thabari, Beliau lalu sempat meminta tinta dan kerta untuk menuliskan doa yang panjatkan oleh Ja’far bin Muhammad.
Lalu ada seorang bertanya kepada Imam at-Thabari, “Dalam kondisi seperti ini Engkau masih menulis?”. Lalu Imam at-Thabari menjawab, “Setiap manusia selayaknya menulis ilmu hingga wafatnya”. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan pahala terbaik kepada Beliau karena jasanya terhadap ilmu, agama Islam, dan kaum muslimin.
Sebagian karya-karya Imam at-Thabari masih dapat kita jumpai hingga sekarang ini. Bahkan semua itu lebih banyak memuat memori dan terkenang hingga saat ini daripada anak-anak atau cucu-cucu Beliau. Karena mereka pasti akan habis dalam kefanaan, hanya beberapa saat setelah wafat lalu akhirnya dilupakan dan tidak dikenang.
Berbeda dengan karya ilmiah yang akan selalu dibaca dan dikenang hingga waktu yang sangat lama. Telah 1100 tahun berlalu setelah Beliau wafat, namun karya beliau masih lestari dan sebagian masih dapat kita jangkau. Sungguh benar apa yang diungkapkan Ibnul Jauzi, “Kitab karangan seorang Ulama adalah anaknya yang abadi”.