Harakah.id – Islam telah mewanti-wanti setiap orang yang beriman agar selalu memeriksa, meneliti setiap berita yang datang agar tidak ada kesalahfahaman yang menimbulkan fitnah dan saling curiga kepada sesama.
Kebebasan berekspresi, berpikir, dan berpendapat adalah hak setiap manusia, tidak terkecuali seluruh rakyat Indonesia memiliki hak untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya baik secara lisan atau tulisan. Hak kebebasan berekspresi ini meliputi kebebasan menyampaikan opini, gagasan tanpa adanya intervensi, kebebasan mencari, menerima, dan menyampaikan informasi melalui media apapun yang disampaikan secara lisan atau tertulis.
Sekarang di era modern menyampaikan pikiran dan pendapat sangat mudah dengan dibantu teknologi yang semakin canggih, salah satunya Internet. Generasi baru pengguna smartphone memanfaatkan jejaring sosial mereka seperti whatsapp, instagram, facebook, YouTube dan media sosial lainnya untuk membuat konten sesuai ide dan keinginan masing-masing. Misalnya menuliskan opininya tentang peristiwa yang terjadi di sekitar, atau saling membagikan informasi-informasi yang didapat kepada teman online lainnya.
Di antara dampak negatif dari kebebasan berekspresi ditambah semakin mudahnya menyampaikan pikiran melalui media sosial adalah derasnya informasi dan narasi yang tersebar di tengah masyarakat pengguna media sosial. Tidak sedikit narasi dan informasi tersebut kurang valid kebenarannya, dan mengarah ke berita bohong sehingga menimbulkan adu argumentasi terutama di antara para akademisi. Hal itu membuat masyarakat awam bingung mana yang benar dan mana yang salah.
Islam telah mewanti-wanti setiap orang yang beriman agar selalu memeriksa, meneliti setiap berita yang datang agar tidak ada kesalahfahaman yang menimbulkan fitnah dan saling curiga kepada sesama. Namun kesadaran itu masih kurang, banyak dari kita menerima informasi tanpa memeriksa kesahihannya langsung di bagikan ke media sosial, fanatik pada satu berita dan menganggap yang berlainan salah. Kebingungan dan terpecahnya masyarakat akibat perbedaan sumber informasi benar dirasakan sekarang ini yang sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita cerdas memilah dan memilih informasi atau berita. Kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa banyaknya informasi dan berita bohong yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw atau lebih dikenal dengan pemalsuan hadis. Bagaimana para sahabat terkhusus ulama hadis ketika itu sangat selektif terhadap berita yang disandarkan kepada Rasulullah.
Menghindari Berita Bohong Menurut Ulama Hadis telah menghasilkan metode penelaahan informasi yang kompleks dan menyeluruh. Menghindari Berita Bohong Menurut Ulama Hadis berangkat dari kasus pemalsuan hadis, berita bohong yang membawa-bawa nama Nabi Saw. Begini cara Menghindari Berita Bohong Menurut Ulama Hadis.
Hadis mutawatir merupakan kategori berita yang diyakini kebenarannya
Hadis atau sunnah Nabi sampai kepada kita itu melalui jalur sanad periwayatan, yakni dari perkataan seorang perawi kepada perawi lain, dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya yaitu tingkatan sahabat, tabi’in, tabi’ at-Tabi’in, tabi’ tabi’ at-tabiin dan seterusnya. Dari masa sahabat sampai sekarang ini hadis mengalami perjalanan dan periodesasi yang panjang, sehingga tidak bisa dipungkiri terdapat penyelewengan berita tentang Nabi. Menyadari hal tersebut ulama hadis memberikan ketentuan dan kriteria hadis yang dapat diterima, diantaranya harus mutawatir perawinya.
Secara bahasa mutawatir adalah al-mutatabi’ berarti yang berurutan. Sedangkan pengertian mutawatir secara istilah yaitu:
مَا رَوَاهُ جَمْعٌ تُحِيْلُ الْعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ اِلَى مُنْتَهَاهُ
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir.
Jadi penerapannya kita harus mengambil berita atau informasi yang banyak sumbernya, sesuai pengertian di atas dengan banyaknya sumber berita atau orang yang menginformasikan tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Misalnya ada banyak pembawa berita datang dari berbagai daerah yang berbeda, dan pendapat berbeda pula. Sejumlah pembawa berita yang banyak ini secara logika mustahil melakukan kesepakatan untuk berbohong.
Tetapi mungkin akan timbul pertanyaan “memang bisa kita analogikan perkembangan hadis pada masa awal dengan masa modern sekarang ini yang kejujuran dan karakter mereka masih bisa diandalkan?”. Dengan pertanyaan seperti itu keraguan kita akan muncul karena pencapaian jumlah banyak pembawa berita tidak menjamin informasinya benar, dimungkinkan adannya kesepakatan berbohong akibat kejujuran yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, apalagi jika ditunggangi kepentingan kelompok, dan masalah politik.
Jika asumsi itu benar, kita dapat berpegang dengan firman Allah dalam Qs.Al-Hujurat 49:6:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
Cara mengetahui apakah pembawa berita termasuk orang fasik atau bukan di era sekarang cukup mudah dengan menelusuri jejak digital, dan media sosialnya. Apabila terdapat bekas kemaksiatan yang pernah dilakukan maka patut diperiksa dengan teliti informasi yang diberikan olehnya.
Nabi Saw mengajak umatnya untuk mengikuti kelompok mayoritas ketika melihat perselisihan
Mengambil berita atau informasi yang banyak sumbernya masih sangat dianjurkan, karena mereka tidak mungkin bersatu dalam kesesatan. Ini juga ditekankan oleh Rasulullah Saw dalam hadisnya yang diriwayatkan Ibn Majah dalam Sunannya:
سنن ابن ماجة: باب السواد الأعظم
3951- سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ ” إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ. فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا، فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ”
“Aku mendengar Anas bin Malik berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu di atas kesesatan, apabila kalian melihat perselisihan maka kalian harus berada di sawadul a’dzam (kelompok yang terbanyak).”
Cukup jelas sabda Rasulullah saw tersebut, mengajarkan sekaligus menyeru agar kita mengikuti kelompok mayoritas ketika perselisihan itu terjadi, baik perselisihan informasi, argumentasi dan narasi. Karena kelompok mayoritas tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk berdusta serta tidak akan bersatu di atas kesesatan. (Mohammad Zainul Wafa)