Harakah.id – Toa Masjid, salah satu benda yang pasti ada di setiap masjid, seringkali menjadi masalah. Perdebatan dan kericuhan mengenai toa masjid selalu muncul tiap tahunnya.
Di pertengahan Ramadan, sebulan yang lalu, lagi-lagi masyarakat Indonesia mericuhkan masalah toa masjid. Perdebatannya dimulai dari cuitan seorang artis dan public figure yang menyesalkan penggunaan toa masjid di sekitar rumahnya. Toa masjid yang dipakai untuk membangunkan sahur itu dianggap menganggu kenyamanan, utamanya bagi mereka yang tengah beristirahat.
Bukan sekali ini masyarakat ricuh dan ramai soal toa masjid. Hampir tiap tahunnya, persoalan speaker masjid dan aturan penggunaannya selalu muncul ke permukaan. Di satu sisi ia berfungsi sebagai syiar, sedangkan di sisi yang lain, ia juga punya efek dan konsekuensi mengingat masyarakat kita yang beragam agamanya.
Empat hari yang lalu, sebagaimana dilansir Gulf News, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan rilis aturan bahwa speaker luar masjid hanya digunakan untuk azan dan iqamah. Rilis ini menarik, bukan hanya mengenai teks rilisnya, melainkan konteks aturan mengingat Saudi Arabia, khususnya di kawasan Masjidil Haram, mayoritas adalah muslim.
Apa yang terjadi di Indonesia di pertengahan Ramadan bulan lalu, dengan apa yang diatur oleh pemerintah Arab Saudi mengenai speaker masjid, adalah dua hal kontras mengenai prinsip syiar dan fungsi masjid. Keduanya, sampai kini sepertinya belum menemukan titik sepakat. Keributan di Ramadan bulan lalu adalah cerminannya.
Satu hal yang pertama perlu disepakati adalah mengenai fungsi masjid, hakikat dan filosofi mengenai keberadaan masjid. Dalam konteks keragaman masyarakat seperti di Indonesia, fungsi masjid mungkin perlu diperluas dan melampaui batas-batas teologis an sich. Ia harus dialihkan, bukan hanya sebagai pusat dan ruang peribadatan umat Muslim, tapi juga pusat toleransi dan jangkar ikatan sosial.
Mempertegas fungsi masjid dan memperjelas hakikat eksistensialnya adalah muara tempat perdebatan mengenai fungsi toa masjid muncul. Jadi permasalahannya tidak bisa hanya dengan membuat regulasi mengenai penggunaan speaker masjid. Lebih jauh, harus ada peningkatan daya mutu pengurus masjid, utamanya terkait maksimalisasi serta efisiensi fungsi masjid yang dikelola.
Pada akhirnya, toa hanyalah toa dan speaker hanyalah speaker. Ideologi, pemahaman dan pemaknaan terhadap fungsi masjid itulah yang akan mengarakahkannya pada sisi positif dan sisi negatifnya. Toh pada hakikatnya, Tuhan tak butuh diteriaki hanya agar ibadah dan doa-doa kita didengarkan, bukan?