Harakah.id – Fadwa Tuqan menyuarakan kegelisahannya atas konflik tiada henti yang melanda tanah kelahirannya, Palestina. Konflik Palestina-Israel bukan hanya masalah agama, tetapi ekonomi, sosial dan politik. Inilah profil Fadwa Tuqan, perempuan yang menyuarakan perlawanan atas konflik Palestina melalui puisi.
Fadwa Abd al-Fatah Aga Thauqan atau dikenal dengan sebutan Fadwa Tuqan merupakan seorang penyair perempuan berkebangsaan Yordania yang cukup terkenal di dunia Arab. Ia lahir di Nablus, Palestina pada tahun 1917. Ayahnya adalah Abd al-Fattah Tuqan dan Ibunya Fawziyya Amin Asqalan. Pendidikannya ditempuh di Nablus, selain itu juga ia belajar secara otodidak.
Perjalanan hidup Fadwa Tuqan sangat begitu menarik jika kita ulas satu demi satu. Seperti yang diketahui bahwa pada tahun 1956, ia bergabung dengan komunitas budaya di Nablus yang didirikan oleh Walid Qamhawi dan ia menjadi anggota aktif di sana. Fadwa Tuqan memulai kepengarangannya menjadi seorang penyair.
Saat bergabung dengan komunitas budaya, ia bertemu dengan Kamal Nasir, seorang penyair dan anggota dari Parlemen Yordania. Selain itu, ia juga banyak bertemu dengan pimpinan organisasi nasionalis di Yordan seperti Abd al-Rahman Shuqair—yang dia sembunyikan di rumahnya, ketika Abd al-Rahman Shuqair dikejar oleh otoritas Yordania; kemudian membantunya melarikan diri ke Syria pada tahun 1957.
Awal tahun 60-an, Fadwa Tuqan memilih untuk tinggal di Inggris; tepatnya ia tinggal di Oxford selama dua tahun. Ia banyak mempelajari bahasa dan sastra Inggris di sana. Perjalanannya itu memberikan efek yang besar pada perkembangan puisi-puisinya serta membentuk kepribadiannya.
Kejadian besar pada tahun 1967, membuat Tuqan memutuskan untuk mengubah puisinya. Sejak awal, Tuqan memilih untuk menulis puisi-puisi bertemakan kehidupan, cinta, budaya, keluarga, dan sosial. Tetapi, sejak konflik yang menimpa Palestina, ia beralih kepada puisi-puisi perlawanan.
Konflik Palestina-Israel tak sekadar gesekan antar agama, melainkan di dalamnya terdapat kepentingan politik, ekonomi, sosial. Banyak masalah yang tak mampu dihentikan dalam beberapa tahun bahkan puluhan tahun. Rekonsiliasi, perjanjian berulang, menerbitkan surat perintah hingga menerjunkan bantuan asing tak lagi cukup untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Perang enam hari pada tahun 1967 mengubah wajah Timur Tengah selamanya. Israel menggelar serangan pendahuluan ke wilayah Mesir, yang dianggap sebagai ancaman terhadap keberadaan negara Israel. Ia menghancurkan lebih dari 300 pesawat dan memusnahkan angkatan udara Mesir.
Serangan ini memicu perang terbuka Israel dengan Mesir, Yordania, dan Suriah yang diakhiri dengan keberhasilan Israel menduduki Semenanjung Sinai, Gaza, Yerusalem Timur dan Tepi Barat, hingga dataran tinggi Golan dalam waktu tiga hari. Perang ini disebut sebagai al-Naksa (kemunduran) oleh orang-orang Arab sebagai tanda kekalahan yang menghancurkan dunia Arab.
Kemenangan Israel dalam Perang Enam Hari juga mengakibatkan negara itu menguasai bagaian Dinding Barat di kawasan tua Yerusalem, salah satu situs suci di kota tersebut.
Beberapa peristiwa besar yang terjadi di Palestina membuat hati Tuqan tersentuh. Tuqan yang dikenal sebagai “Penyair Palestina,” yang memiliki pengaruh paling menonjol sebagai salah satu tokoh budaya di sana. Secara terbuka dan berani, Tuqan menyuarakan penolakannya terhadap banyak adat-istiadat yang ada di Nablus—yang dalam pandangannya menghambat kemajuan pengetahuan dan pencerahan yang begitu penting baginya.
Selain itu, Tuqan juga memiliki andil dalam urusan politik dan budaya, perlawanannya terhadap pendudukan Israel ia tuangkan melalui puisi-puisinya yang mengangkat tema-tema perlawanan.