Harakah.id – Formulasi ijtihad di kalangan syiah merupakan hal yang mungkin jarang dibahas. Padahal kita tahu, kelompok syiah selalu punya caranya sendiri dalam menampilkan model keberagamaan mereka.
Meski beda Akidah dan tidak dianggap bagian dari Umat Islam, kalangan Syiah tetap merasa dirinya bagian dari umat. Mereka punya amaliah dan ritual yang seluruhnya didasarkan pada formulasi ijtihad versi Mereka. Baik di level sekolah menengah hingga perguruan tinggi, jarang membahas bagaimana formulasi ijtihad di kalangan syiah berikut nalar fikih versi mereka. Rata-rata fokus utamanya berkisar di pandangan politik, konsep filsafat dan aspek teologinya. Oleh karena itu, yang menjadi fokus utama dalam artikel ini adalah bagaimana jenis ijtihad, sumber hukum dan taqlid di kalangan Syiah Zaidiyah maupun Isna ‘Asyariyah (Imamiyah).
Formulasi Ijtihad di Kalangan Syiah
Menurut Muhammad Ibrahim jannati dalam Fikih Perbandingan 5 Mazhab, jilid 3 (2007), terdapat dua jenis formulasi ijtihad di kalangan Syiah, Ijtihad berdasar ra’yu dan ijtihad berdasar Syariat. Bagi Syiah Isna ‘Asyariah, berijtihad itu wajib kifayah. “Gerakan Ijtihad di kalangan Syiah dimaksudkan untuk melindungi doktrin Imamah. Sementara itu, Kedudukan Mujtahid yakni sebagai Na’ib al-Imam/wakil Imam al-Ghaib” sebut Mohammad baharun dalam Ijtihad dalam Perspektif Ulama Syiah Isna Asyariyah (Jurnal Ulul albab, Vol 8 No 1 tahun 2007).
Apabila seseorang itu tidak memenuhi kriteria sebagai Mujtahid, maka yang bersangkutan dianjurkan taqlid. Bagi kalangan Syiah, bertaqlid harus dilakukan kepada orang yang masih hidup, tidak boleh kepada orang yang telah meninggal dunia, kecuali jika sebelumnya memang ia telah bertaqlid kepadanya. Katanya supaya fikih terus berkembang dinamis. Maka para fuqaha yang dijadikan tempat rujukan oleh orang awam disebut dengan Marja’ taqlid (tempat rujukan dalam bertaqlid).
Dalam berijtihad, ulama Syiah Isna ‘Asyariyah merujuk pada sumber Hukum. Menurut Mohammad Baharun, sumber hukum versi mereka diantaranya, al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Akal. Sementara itu Zaidiyah kata Asmawi dalam buku Perbandingan Ushul Fikih (UIN Jakarta Press, 2006), sistematika sumber hukumnya adalah Ijma, Nash al-Quran dan Sunnah, Qiyas dan Ijtihad lainnya: Istihsan, Maslahah mursalah dan Istihsab
Al-Quran yang dipahami Syiah berbeda dengan versi Ahlu sunnah. “Di kalangan Isna ‘Asyariyah, al-Quran itu berjumlah 17 ribu ayat. Mereka hanya mengakui al-Quran yang dikodifikasi oleh khalifah Ali bin Abi Thalib” tulis Asmawi. Kemudian mereka hanya menerima penafsiran atau pemahaman al-Quran yang diberikan oleh Ali bin Abi thalib dan para Imam Maksum yang berasal dari keluarga ahlul bait.
Terkait sunnah, masih menurut Muhammad Ibrahim Jannati, sunnah yang dimaksud ialah sunnah para Imam Ahl bait. Ia memiliki validitas yang sama dengan Sunnah Rasulullah saw berdasarkan kemaksuman mereka. Sunnah di Isna ‘Asyariyah merujuk pada 4 kitab yaitu al-Kafi, Man La Yahdurul faqih, al-Tadib dan al-Istibshar. Di luar kitab-kitab ini, dianggap banyak memuat hadits-hadits dhaif (Asmawi, hal 218).
Ada hal-hal yang dianggap bukan tergolong lapangan ijtihad. Mohammad Baharun menyebut bahwa di dalam Syiah Isna ‘Asyariyah, materi-materi Imamah, Ismah (kemaksuman), Taqiyah, Marja’iyat at-taqlid (Institusi ulama), Wilayat al-faqih sebagai suatu keniscayaan yang masuk wilayah Qat’iyat. Bagi Ahlu Sunnah, semua kategori itu masuk ke dalam dimensi Zanniyat.
Bila ditarik sebuah kesimpulan, Nampak jelas Di dalam Isna ‘Asyariyah sepertinya tidak dijumpai konsep ganjaran pahala ketika berijtihad. Di kalangan Ahlu sunnah sudah lazim dikenal ganjaran pahala berijtihad, mengacu pada sabda Rasulullah saw, “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu’allam bishowwab