Harakah.id – Sebagai Muslim, kita perlu memahami duduk persoalan terkait dengan hukum berobat dalam Islam. Bagaimana pandangan Islam terhadap praktik berobat. Apakah Islam membolehkannya, menganjurkannya atau justru melarangnya?
Hari ini, masyarakat sangat memperhatikan kesehatannya. Melebih perhatian mereka terhadap kesehatan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Berbagai cara ditempuh untuk menjaga stamina tubuh, daya tahan tubuh, dan kesehatan.
Ketika sudah sakit, ada banyak orang berfikir bahwa mereka tak perlu ke rumah sakit karena khawatir berakhir sebagai pasien Covid. Urusannya bisa sangat merepotkan. Akhirnya, banyak yang melakukan isolasi mandiri dan perawatan mandiri di rumah. Di sinilah kita semakin menyadari bahwa kesehatan adalah nikmat Allah yang sering kali dilupakan. Ternyata, kesehatan itu dicabut oleh Allah, biaya yang dikeluarkan bisa jadi tidak sedikit.
Sebagai Muslim, kita perlu memahami duduk persoalan terkait dengan hukum berobat dalam Islam. Bagaimana pandangan Islam terhadap praktik berobat. Apakah Islam membolehkannya, menganjurkannya atau justru melarangnya? Bagaimana pandangan para ahli hukum terhadap masalah ini?
Merujuk kepada kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, disebutkan keterangan sebagai berikut:
التَّدَاوِي مَشْرُوعٌ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ؛ لِمَا رَوَى أَبُو الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: قَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ أَنْزَل الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَل لِكُل دَاءٍ دَوَاءً، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِالْحَرَامِ
Berobat adalah perkara yang disyariatkan secara umum. Hal ini karena ada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ yang mana ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah menurunkan penyakit dan obat. Menciptakan obat untuk setiap penyakit. Maka berobatlah. Dan jangan berobat dengan benda haram.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 11, hlm. 116)
Berdasarkan keterangan ini, berobat termasuk perkara yang diajarkan oleh syariat Islam. Hal ini karena berobat diperintahkan dalam hadis Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengatakan, “Berobatlah.” Ini menunjukkan bahwa berobat adalah bagian dari syariat Islam. Sekalipun sebagai bagian dari syariat, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang status hukumnya. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah sebatas mubah (dibolehkan). Tetapi, ada pula yang berpendapat bahwa hukum mustahab (dianjurkan). Perbedaannya, jika mengikuti pendapat pertama kita tidak dapat pahala dengan berobat. Jika mengikuti pendapat kedua, kita akan dicatat mendapat pahala jika melakukannya.
Imam Al-Nafrawi (w. 1126 H.) dalam kitab Al-Fawakih Al-Dawani Ala Risalah Ibni Abi Zaid Al-Qairawani mengatakan,
)وَ) كَذَا لَا بَأْسَ بِارْتِكَابِ (التَّعَالُجِ) وَهُوَ مُحَاوَلَةُ الْمَرَضِ لِمَا فِي الصَّحِيحِ مِنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إنَّ اللَّهَ لَمْ يُنَزِّلْ دَاءً إلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً» فَإِنْزَالُ الدَّوَاءِ أَمَارَةُ جَوَازِ التَّدَاوِي، وَلَكِنْ لَا يَكُونُ ذَلِكَ إلَّا مِنْ الْعَالِمِ بِأَنْوَاعِ الْأَمْرَاضِ، وَمَا يُنَاسِبُ كُلَّ مَرَضٍ لِئَلَّا يَكُونَ ضَرَرُهُ أَكْثَرَ مِنْ نَفْعِهِ
Begitu pula tidak apa-apa melakukan pengobatan. Yaitu menangani penyakit. Karena ada hadis shahih dimana Rasulullah SAW mengatakan, ‘Sungguh, Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan obatnya.’ Diturunkannya obat menunjukkan kebolehan berobat. Tetapi, pengobatan hanya boleh dilakukan oleh orang yang ahli tentang penyakit dan obat apa yang sesuai dengan setiap penyakit agar bahaya tidak lebih besar dibanding manfaat berobat. (Al-Fawakih Al-Dawani, jilid 2, hlm. 339)
Berbeda dengan mazhab Maliki di atas, yang menghukumi mubah tindakan pengobatan, sebaliknya mazhab Syafi’i menghukumi sunnah atau dianjurkan.
Imam An-Nawawi Al-Syafi’i (w. 676 H.) mengatakan,
يُسْتَحَبُّ لِكُلِّ وَاحِدٍ ذِكْرُ الْمَوْتِ. قُلْتُ: وَيُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ. وَيَسْتَعِدُّ لَهُ بِالتَّوْبَةِ، وَرَدِّ الْمَظَالِمِ إِلَى أَهْلِهَا، وَالْمَرِيضُ آكَدُ. وَيُسْتَحَبُّ لَهُ الصَّبْرُ عَلَى الْمَرَضِ، وَتَرْكُ الْأَنِينِ مَا أَطَاقَ، وَيُسْتَحَبُّ التَّدَاوِي، وَيُسْتَحَبُّ لِغَيْرِهِ عِيَادَتُهُ إِنْ كَانَ مُسْلِمًا، فَإِنْ كَانَ ذِمِّيًّا لَهُ قَرَابَةٌ أَوْ جِوَارٌ أَوْ نَحْوُهُمَا، اسْتُحِبَّتْ، وَإِلَّا جَازَتْ،
Dianjurkan bagi setiap orang mengingat kematian. Saya berkata, dan dianjurkan memperbanyak mengingat kematian. Wallahu a’lam. Seseorang hendaknya menyiapkan diri dengan bertaubat, mengembalikan harta yang diperoleh secara zalim kepada yang berhak, orang yang sakit lebih dianjurkan lagi untuk melakukan itu. Dianjurkan baginya bersabar atas sakit yang diderita. Meninggalkan mengeluh semampunya. Dianjurkan bagi orang yang sakit untuk berobat. Dianjurkan bagi orang lain untuk menjenguknya, jika Muslim. Jika tergolong ahlu dzimmah, yang punya hubungan kerabat atau hubungan tetangga, atau seperti keduanya, maka dianjurkan. Jika tidak punya hubungan kerabat, hukumnya boleh. (Raudhatut Thalibin, jilid 2, hlm. 96).
Dalam kesempatan lain, Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa makruh hukumnya makruh membenci berobat. Beliau mengatakan,
وَيُكْرَهُ لِلْمَرِيضِ كَثْرَةُ الشَّكْوَى، وَتُكْرَهُ الْكَرَاهَةُ عَلَى تَنَاوُلِ الدَّوَاءِ.
Bagi orang yang sedang sakit, banyak mengeluh hukumnya adalah makruh. Dan dihukumi makruh membenci berobat. (Raudhatut Thalibin, jilid 2, hlm. 98)
Dengan demikian, hukum berobat dalam Islam masih diperselisihkan. Antara mubah (boleh) dan mustahab (dianjurkan). Mengikuti mazhab Syafi’i, hukum berobat adalah dianjurkan. Barang siapa yang melakukannya, akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Jika tidak dilakukan, tidak ada dosa baginya.
Semoga penjelasan hukum berobat dalam Islam di atas dapat menambah wawasan kita semua. Semoga semua selalu sehat dalam suasana pandemi yang mencekam ini.