Harakah.id – Yang menjadi permasalahan adalah ketika maslahat digunakan secara serampangan. Inilah kriteria maslahat berdasarkan fatwa MUI Tahun 2005.
Dewasa ini, dalam bermasyarakat dan bernegara kita sering mendengar berbagai kalangan mengatasnamakan “kemaslahatan” bersama sebagai alasan untuk mengambil satu sikap, keputusan atau untuk menetapkan sebuah hukum. Baik dalam lingkup organisasi tingkat kecil, menengah hingga nasional.
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana penggunaan maslahat digunakan secara serampangan. Mengatasnamakan kemaslahatan bersama, namun digunakan sebagai kelambu untuk menyamarkan kemadharatan yang lebih besar. Berniat untuk memberikan rasa aman dan nyaman, penetapan hukum Islam justru menimbulkan keresahan di tengha-tengah masyarkat.
Sehingga esensi maslahat yang terkadang menjadi dalil dan terkadang menjadi metode ijtihat kehilangan ruh nya. Padahal kemaslahatan sangat erat kaitannya dengan firman Allah Swt. Allah Swt. Berfirman, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya; 107)
Masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ini. Mulai dari Al-Isra ayat 105, Fathir ayat 24, Al-Maidah ayat 6, Al-Hajj ayat 78, Al-Baqarah ayat 185, Al[1]Naml ayat 77 dan Al-Mu’minun ayat 71. Adapun hadis nabi Saw. yang berkaitan dengan kemaslahatan diantaranya adalah hadis riwayat Al-Bukhari : “Kalian diutus untuk memberikan kemudahan dan bukan untuk memberikan kesulitan.”
Adanya dinamika yang terjadi ditengah masyarakat seperti yang sudah disampaikan di atas, nampaknya menjadi alasan agar kita bisa berefleksi kembali pada keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No: 6/MUNAS VII/MUI/10/2005.
Fatwa itu memuat kriteria-kriteria maslahat dengan mempertimbangkan Al-Qur’an, Hadis dan perkataan ulama. Pendapat ulama yang menjadi dasar pertimbangan salah satunya adalah pendapat al-Khawarizmi yang dikutip oleh al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul h.242, pendapat Hujatul-Islam Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa juz 1 h.286-287, dan pendapat Asy[1]Syathibi dalam al-Muwafaqah juz 2 h.39-40.
Berikut ini kutipan dalam al-Mustashfa juz 1 h.286-287:
أما المصلحة فهي عبارة في األصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة، ولسنا نعني به ذلك، فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق، وصالح الخلق في تحصيل مقاصدهم: لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع. ومقصود الشرع من الخلق خمسة، وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم، وعقلهم، ونسلهم، ومالهم. فكل ما يتضمن حفظ هذه األصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه األصول فهو مفسدة، ودفعه مصلحة.
Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak madarat (hal-hal yang merugikan). Akan tetapi, bukan itu yang kami maksud, sebab meraih manfaat dan menhindarkan mudarat adalah tujuan makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Yang kami maksud dengan kemaslahatan adalah memelihara tujuan syara’ (hukum Islam). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhluk ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat; dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.
Setelah melihat latar belakang secara menyeluruh, setidaknya MUI memetakan kriteria kemaslahatan dalam tiga poin. Point pada kriteria ini juga bisa menjawab permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Pertama, maslahat menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriyyat alkhams), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan.
Kedua, maslahat yang dibenarkan oleh syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, mashlahat tidak boleh bertentangan dengan nash.
Ketiga, yang berhak menentukan maslahat-tidaknya sesuatu menurut syara’ adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui ijtihad jama’i.
Demikian ulasan singkat tentang kriteria maslahat berdasarkan fatwa MUI Tahun 2005. Semoga bermanfaat.
Artikel kiriman dari M. Nurrifqi Fuadi, Mahasantri IIHS Darus Sunnah, Jakarta.