Harakah.id – Salah satu tokoh penting dalam fenomena polarisasi ini adalah Habib Rizieq. Melalui organisasi FPI-nya, secara konsisten ia mengusung konsep “nahi munkar” dengan berbagai jargon perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan pengadilan terhadap pelaku penistaan agama.
Polarisasi masyarakat Muslim Indonesia cukup ekstrem terjadi dalam beberapa waktu belakangan. Terutama menjelang Pemilihan Presiden pada 2019 lalu. Sisa-sisa gesekannya masih bisa dirasakan hingga hari ini. Ada potensi bahwa polarisasi ini akan dimanfaatkan untuk kepentingan Pemilu 2024.
Polarisasi di masyarakat bahkan sampai pada tingkat paling serius karena muncul tuduhan kafir atas pihak yang dianggap tidak menjalankan ajaran agama.
Menurut Gus Baha’, orang yang tidak menjalankan agamanya paling jauh berstatus melakukan perbuatan haram, dosa, dan maksiat. Tetapi tidak sampai kafir. Demikian keyakinan umum dalam pandangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Salah satu tokoh penting dalam fenomena polarisasi ini adalah Habib Rizieq. Melalui organisasi FPI-nya, secara konsisten ia mengusung “nahi munkar” dengan berbagai jargon perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan pengadilan terhadap pelaku penistaan agama.
Gerakannya segera membesar karena momentum politik yang membutuhkan bahan bakar sentimen tertentu. Habib Rizieq berhasil menggerakkan ribuan orang untuk melakukan berbagai aksi massa.
Di tengah popularitas Habib Rizieq sebagai pengusung penegakan ajaran Islam, muncul pula sentimen terhadap para cendekiawan Muslim yang dinilai menyimpang.
Terkadang situasi semacam ini tidak adil. Dimana kemudian seseorang dengan mudah mengaku sebagai pengikut seorang tokoh, tapi dengan mudanya pula menjatuhkan kehormatan tokoh lain.
KH Baha’uddin Nursalim, atau akrab disapa Gus Baha’, sempat menyinggung tentang Habib Rizieq dalam salah satu ceramahnya. Beliau pernah mengatakan, “Orang itu sering tanya sama saya. Menurut jenengan, Habib Rizieq itu bagaimana? Saya jawab, Habib Rizieq itu dzuriyah Rasul, nahi munkar pasti baik.”
Demikian pujian Gus Baha’ terhadap Habib Rizieq. Tetapi pujian ini tidak lantas membuatnya kurang menaruh hormat kepada tokoh lain yang berbeda pandangan dengan Habib Rizieq.
Gus Baha’ bahkan mengajak jamaahnya untuk tetap bersikap moderat. Tidak terjatuh dalam fanatisme buta atau pembelaan yang membabi buta.
“Saya ingin, yang ngaji sama saya itu, kalau anda ittiba’ sama habaib, ya bandingannya dengan habaib. Saya ini orang alim, tapi masih belajar. Saya baca ideologi FPI, saya baca karangannya Mbah Soleh Darat, Sunan Giri, Sunan Ampel. Saya baca ulama yang ekstremis sampai ulama yang moderat.”
Menurutnya, tanggungjawab sebagai ulama itu berat. Harus memahami semua yang ada di masyarakat. Dalam menyikapi segala sesuatu di masyarakat harus berdasarkan perspektif keilmuan. Bukan hanya politik.
Gus Baha’ mengakui dirinya adalah seorang alim. Karena itu, ia mengambil kewajiban membaca tersebut agar dapat dijadikan dasar bersikap.
Menurut Gus Baha’, sekalipun model “nahi munkar” itu juga ajaran Islam, tetapi pada umumnya kiai dan ulama di Indonesia tidak memilih jalan ini. Umumnya lebih senang bersabar menghadapi kemaksiatan di masyarakat sambil terus membenahi melalui seruan melakukan kebaikan (amar makruf). Metode terakhir inilah yang justru membuat banyak tersadarkan dan kemudian memeluk Islam dengan baik.