Harakah.id – Untuk memelihat atau membuktikan aspek keindahan bahasa dalam surat al-Fatihah, salah satunya dapat dibuktikan dengan membedah atau mengkaji iltifat yang terkandung di dalamnya.
Alfatihah merupakan salah satu surat istimewa di dalam al-Quran dan mendapat julukan sebagai umm al-kitab. Surat yang tergolong dalam kategori pendek ini terdiri dari 7 ayat. Bukan tanpa alasan tentunya surat ini mendapat julukan seperti tadi. Selain karena banyaknya rahasia yang terkandung dalam surat ini, keindahan bahasanya yang unik pun menjadi salah satu faktor diistimewakannya surat ini.
Untuk memelihat atau membuktikan aspek keindahan bahasa dalam surat al-Fatihah, salah satunya dapat dibuktikan dengan membedah atau mengkaji iltifat yang terkandung di dalamnya. Iltifat merupakan salah satu teori kajian dalam ranah bahasa kesusasteraan Arab, atau bisa juga disebut sebagai Balaghoh. Yang mana, dalam hal ini secara garis besar iltifat berbicara mengenai pergeseran atau perubahan.
Bahasa Arab memang mempunyai kaidah gramatikal yang dibilang ketat dan rumit. Namun, bersamaan dengan itu juga dalam bahasa Arab tak jarang ditemukan beberapa hal yang justru bertolak belakang. Artinya tidak sesuai kaidah atau bahkan cenderung menyimpang dari kaidah yang ada. Hal demikian inilah yang disebut dengan al-‘udul, dan iltifat merupakan salah satunya. Sebab, di dalam iltifat inilah terdapat bentuk-bentuk penyimpangan atau pergeseran sesuatu dari kaidah yang ada atau hal yang semestinya.
Dan pergeseran atau perubahan tadi, bisa saja terjadi dalam berbagai ranah. Entah dalam ranah penggunaan kata ganti (dhomir), dalam ranah susunan kontruksi kalimat (bina nahwiy), dalam ranah piranti pendukung (adawat), dalam ranah istilah-istilah dalam kamus (mu’jam), dalam ranah konteks kalimat (syiyagh), atau dalam ranah kuantitas (adad).
Dalam surat al-Fatihah, setidaknya terdapat 2 bentuk iltifat yang cukup jelas keberadaannya dan terbilang menarik untuk dibahas. Yaitu iltifat dalam konteks dhomir, dan iltifat dalam konteks bina’ nahwiy.
Jika diperhatian dengan seksama, di dalam surat al-Fatihah dari ayat pertama sampai ayat keempat. Untuk menuliskan atau menjelaskan Allah di sana, semuanya menggunakan kata ganti orang ketiga. Namun coba perhatikan pada ayat selanjutnya, yaitu pada ayat kelima. Di sana akan ditemui kalimat yang berbunyi:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Yang mana memiliki arti; hanya kepadaMulah kami menyembah dan hanya kepadaMulah kami meminta pertolongan. Seketika yang sebelumnya menggunakan kata ganti orang ketiga berubah menjadi menggunakan kata ganti orang kedua -dengan menggunakan ungkapan hanya kepadaMu- pada ayat kelima ini.
Terjadinya iltifat bentuk dhomir di sini, kurang lebih menyimpan isyarat yang bertujuan bertujuan untuk lebih memantapkan dan lebih jelas tujuannya, disamping sudah di takhsis dengan mendahulukan maful bih-nya. Karena yang namanya berbicara -atau dalam konteks ayat ini adalah berdoa atau beribadah- dengan orang kedua secara langsung itu lebih mantap dan jelas yakin karena orangnya berada langsung dihadapan kita.
Kemudian bentuk iltifat lain adalah bentuk iltifat dalam konteks bina’ nahwiy. Dalam hal ini terdapat pada ayat ketujuh yang berbunyi
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Yang mana memiliki arti; yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Jika diperhatikan, terdapat bentuk iltifat yaitu pergeseran atau perubahan penggunaan jumlah fi‟liyah berupa ungkapan الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ , disusul dengan bentuk ismiyah berupa ungkapan غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ.
Dalam hal ini, kurang lebih mempunyai isyarat bahwasanya pada saat konteks pembiacaraannya mengenai hal membrikan suatu kenikmatan atau sesuatu hal yang positif. Di sana secara terus terang dan jelas disebut secara langsung menggunakan Engkau Allah yang memberikan nikmat. Namun pada saat konteks pembicaraannya berganti menjadi membahas orang-orang yang dimurkai, di sana tidak disebutkan atau dituliskan secara langsung bahwa Engkau atau Allah murka atau membenci mereka. Tapi cukup menggunakan istilah pasif –yaitu dengan ungkapan mereka yang dimurkai- tanpa menyebutkan Allah murka. Sebab, apabila misalkan di sana dituliskan dengan istilah Allah murka, hal ini nantinya akan menimbulkan anggapan tidak adanya keselarasan dengan konteks ayat-ayat di awal yang membahas bahwa Allah Maha Pengasih serta Maha Penyenyang..
Sebegitu indahnya dan detailnya bahasa al-Quran. Dan contoh iltifat dalam s;urat al-Fatihah tadi hanyalah secuil dari banyaknya keindahan dan rahasia-rahasia dalam al-Quran kitab suci kita. Wallahu a’lam.