Harakah.id – Syaikh Nawawi al-Bantani mewariskan sikap moderasi beragama dalam masyarakat multi teologi.
Moderasi beragama telah menjadi program Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini untuk merespon semakin berkembangnya isu polarisasi yang semakin kuat melanda masyarakat dunia, baik masyarakat berbasis agama atau politik. Dampak polarisasi ekstrem adalah terbelahnya masyarakat suatu negara. Ini menjadi tantangan bagi persatuan masyarakat.
Polarisasi berbasis agama muncul dalam masyarakat yang memiliki keterikatan kuat pada agama. Secara sosiologi, agama memiliki banyak sekte atau aliran. Setiap sekte atau aliran memiliki pemahaman dan doktrin keagamaan yang dibangun di atas pemahaman atas teks-teks suci keagamaan.
Dalam perkembangannya, sekte-sekte dan aliran-aliran tersebut dibagi menjadi dua; antara yang ortodoks dan heterodoks. Ortodoks adalah paham dan sub keyakinan yang dinilai benar dan resmi. Sedangkan heterodoks merupakan kelompok, paham dan sub keyakinan yang dianggap salah dan keluar dari versi resmi. Pembagian semacam ini (ortodoks dan heterodoks), berakar pada model kajian yang dilakukan para sarjana di Barat.
Dalam sejarah Islam, kelompok yang sering dikategorikan ortodoks adalah paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah (baca: Sunni). Di luar Ahlus Sunnah Wal Jamaah dianggap sebagai kelompok yang heterodoks. Hal ini seperti kelompok Muktazilah, Khawarij, dan Syiah di masa lalu.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah diwakili oleh dua kelompok utama; Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Pada umumnya, masyarakat di dunia Islam mengikuti salah satu dari kedua paham teologi tersebut.
Dalam perkembangannya, sikap kelompok Asy’ariyyah terbagi menjadi dua kecenderungan berkaitan dengan eksistensi kelompok Muktazilah. Ada yang bersikap ekstrem dengan menyebut kaum Muktazilah telah keluar dari barisan umat Islam dan menjadi kafir karena keyakinan mereka.
Tetapi, pada umumnya masih bersikap toleran dengan menyebut kaum Muktazilah sebagai bagian dari umat Islam, sekalipun dengan disertai label sebagai kelompok yang menyimpang. Imam Abul Hasan al-Asy’ari, pendiri Asy’ariyyah menulis Maqalat al-Islamiyyah (Paham-Paham Umat Islam) yang berisi sekte dan paham-paham dalam komunitas Muslim. Di dalamnya disebutkan juga tentang kaum Muktazilah. Dimana beliau sendiri pada mulanya belajar di madrasah yang diasuh tokoh Muktazilah.
Sikap-sikap ini sejatinya terus diwarisi oleh para ulama Asy’ariyyah sepanjang zaman. Tidak mudah mengkafirkan kelompok yang berbeda paham. Sekalipun tetap menyebut di luar kelompoknya sebagai kelompok yang salah memahami atau memiliki pemahaman yang salah.
Sikap tidak mudah mengkafirkan inilah yang diserap ulama Nusantara, yang tertuang dalam kitab-kitab mereka. Syaikh Nawawi al-Bantani, ulama Nusantara terkemuka yang kitab-kitabnya dikaji di banyak pesantren di Indonesia dan menjadi panduan beragama masyarakat santri, pernah menunjukkan sikap moderasi beragama ini. Dalam kitabnya yang berjudul Nuruzh Zhalam fi Syarhi Aqidatil Awwam mengatakan,
ثم اعلم ان المعتزلة لم يقولوا بثبوت المعنوية كما قد أوهمه بعض العبارات أى لم يقولوا ان االله قادر بصفات معنوية وإنما قالوا قادر بذاته من غير قدرة كما تقدم ولم يكفر بذلك لأ م أثبتوا القادرية
Ketahuilah! Sesungguhnya kaum Mu’tazilah tidak meyakini adanya sifat-sifat maknawiah pada Allah, seperti kesalahpahaman yang ditampilan oleh sebagian keterangan. Maksudnya mereka tidak mengatakan kalau Allah adalah “قادر “ (Yang Kuasa) dengan sifat-sifat maknawiah. Tetapi mereka hanya mengatakan kalau Allah adalah “قادر “ (Yang Kuasa) dengan Dzat-Nya tanpa dengan sifat “قدرة“ (Kuasa), seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka tidak dihukumi kufur sebab keyakinan itu karena sejatinya mereka masih menetapkan adanya sifat yang maha kuasa (al-Qadiriyyah) pada Dzat Allah.
Dalam keterangan ini dapat dipahami bahwa sekalipun kaum Muktazilah menafikan sifat qudrah (maha kuasa) Allah, sebagaimana diyakini oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah, penafian tersebut tidak sampai membuat kaum Muktazilah menjadi kafir atau keluar dari Islam. Ini merupakan sikap yang moderat yang diteladankan oleh Syekh Nawawi al-Bantani.
Sikap moderasi beragma semacam ini perlu terus diteladankan kepada generasi sekarang yang mulai kehilangan nilai-nilai luhurnya. Menjelang tahun politik di 2024, upaya provokasi berbasis agama dikhawatirkan akan kembali menimbulkan polarisasi ekstrem di masyarakat. Kita memerlukan Syaikh Nawawi-Syaikh Nawawi milenial yang senantiasa meneladankan sikap moderat dalam beragama. Syaikh Nawawi al-Bantani mewariskan sikap moderasi beragama dalam masyarakat multi teologi.