Harakah.id – Mengapa NU cenderung menolak kelompok “Islam Kanan”? Pertanyaan ini mungkin seringkali muncul dalam benak banyak orang. Berikut adalah jawaban sekaligus penjelasan mengenai dasar kaidah atas sikap tersebut.
Dalam tradisi ilmu fikih, ibadah yang mengandung lebih banyak perbuatan dianggap lebih utama dibanding yang lebih sedikit. Hal ini berdasarkan sebuah hadis Nabi saw. beliau berkata kepada Sayyidah Aisyah, ajruki ‘ala qadri nashabiki [pahalamu tergantung kadar kesulitanmu] (HR. Muslim).
Kaidah ini berlaku dalam kasus salat witir tiga rakaat yang dikerjakan dalam dua kali salat. Shalat witir merupakan salat yang harus dilaksanakan dalam bilangan ganjil (witir berarti ganjil). Sebenarnya, bisa saja salat witir tiga rakaat dikerjakan sekali dengan satu kali salam. Salat witir tiga rakaat juga dapat dilakukan dengan cara dua kali salam. Yang terakhir ini dianggap lebih utama dibanding yang pertama.
Hal itu karena dengan dua kali salam, berarti lebih banyak perbuatan yang dikerjakan. Buktinya, dengan dua kali salat, akan ada dua niat, dua kali takbiratul ihram (takbir pembuka salat), dan dua kali salam. Masing-masing perbuatan tersebut punya pahala sendiri. Karena itulah salat witir lebih utama dilakukan dalam dua kali salam.
Kasus lain adalah perbandingan keutamaan salat sunnah yang dikerjakan dengan cara berdiri, duduk dan tidur miring. Berdasar kaidah di atas, salat sunnah dengan berdiri lebih utama karena punya lebih banyak perbuatan. Dan begitu seterusnya.
Contoh lainnya, ibadah haji dan umrah. Lebih utama jika dilakukan satu persatu (ifrad) dibanding bersamaan (qiran).
Cara pandang “lebih banyak beramal lebih baik” seperti di atas, selain menjadi doktrin fikih, juga menjadi pendorong orang-orang NU memperbanyak amaliah. Orang-orang NU berlomba-lomba melaksanakan amaliah yang mengandung pahala. Lebih dari itu, orang-orang NU berusaha keras membuka kesempatan-kesempatan beramal saleh.
Dalam sebuah kaidah terdapat kaul;
مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلًا كَانَ أَكْثَرُ فَضْلًا
Semakin banyak amalnya, semakin banyak keutamaannya
Orang-orang NU menggunakan tradisi yang berkembang luas di masyarakat sebagai sarana melakukan amal baik yang berpahala. Tradisi itu dipilah-pilah berdasarkan pandangan para ulama yang tertuang dalam kitab-kitab fikih. Tradisi yang sesuai dengan syariat-fikih, diterima dan dilestarikan di masyarakat dengan memberikan muatan ajaran Islam. Tradisi itu kemudian menjadi sarana dakwah yang efektif dan dapat diterima masyarakat luas. Cara pandang semacam ini kemudian membuat NU dapat mengakomodir banyak tradisi masyarakat lokal.
Pada awal abad kedua puluh, kecenderungan populis ini mendapat tantangan dari gerakan pembaharuan. Gerakan ini menolak mazhab fikih serta tradisi yang direstui oleh syariat. Jadi, dapat dikatakan gerakan ini, selain anti-mazhab juga anti-tradisi. “Islam Kanan” – kalau kita boleh menamainya – muncul sebagai realitas keberagamaan baru di Nusantara.
Pada era pasca-kemerdekaan, kelompok anti-mazhab bergabung dengan kaum bermazhab dalam satu partai politik. Namun, rupanya mereka kurang bisa menghargai saudaranya, terutama ulama-ulama pesantren, sehingga sering menganggap rendah.
Mereka menganggap ulama-ulama pesantren tidak mengerti sistem politik modern. Karena sikap ego sentrisnya, mereka mengebiri peran ulama pesantren. Para ulama hanya diberi posisi pembuat fatwa. Namun tidak ada kewajiban mengikuti bagi mareka.
Lalu, ketika para ulama pesantren kecewa dan bermaksud membuat partai sendiri, mereka dengan tanpa merasa berdosa malah menuduh para ulama pesantren memecah belah umat Islam dan haus kekuasaan. Dengan sigap, Mbah Wahab men-counter mereka dengan pernyataannya yang pedas, “Lho, Masyumi itu partai politik Bung. Karena itu sudah semestinya menjadi ajang perebutan dan pembagian kekuasaan.”
Mbah Wahab, yang dituduh memecah belah persaudaraan Islam, mengeluarkan statement yang menyadarkan orang-orang NU, bahwa ukhuwah model mereka bukan lagi ukhuwah islamiyah, tapi ukhuwwah kusiriah. Model kusir dan kudanya. Elit Masyumi menjadi kusir yang seenaknya sendiri menentukan kebijakan, orang-orang NU menjadi kuda yang dilecut tanpa dipedulikan perannya membesarkan organisasi.
Belakangan, ternyata mereka punya hubungan khusus dengan kelompok pemberontak yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam versi mereka. Para aktivis Islam anti-mazhab itu juga pada akhirnya terlibat dalam pemberontakan sehingga partai tempat mereka bernaung dibubarkan pemerintah.
Para aktivis Islam anti-mazhab itu kemudian disatukan dalam satu pandangan politik; menjadikan Islam sebagai ideologi politik dan bercita-cita mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Gerakan bersenjata mereka telah dibasmi. Partai politik mereka dibubarkan. Namun gerakan mereka tidak berhenti. Mereka terus menghidupkan cita-cita negara Islam.
Mereka melakukan aksi teror, pemboman, dan pembunuhan. KH. Zainul Arifin, tokoh terkemuka NU, meninggal dalam sebuah serangan di Istana Negara setelah seorang ekstrimis menyerang dengan senjata api. Tembakan yang ditujukan kepada Bung Karno meleset, dan mengenai tokoh NU yang dikenal tegas tersebut.
Dalam sejarah politik Indonesia, mereka dikenal dengan sebutan ekstrim kanan. Orang-orang NU menyebut mereka dengan sebutan beragam. Mbah Wahab menyebut mereka bughot. Orang-orang NU menyebut mereka dengan istilah Islam Kanan. Kiai Hasyim Muzadi menyebut mereka Islam trans-nasional karena faktanya mereka memiliki agenda internasionalisme Islam. Apapun sebutannya, mereka merepresentasikan satu kelompok yang sama. Orang-orang anti-mazhab. Anti-tradisi. Sebutan-sebutan tersebut secara tidak langsung memperlihatkan kalau NU cenderung menolak kelompok “Islam Kanan”.
NU melalui paradigma ma kana aktsaru fi’lan kana aktsaru fadhlan dengan berpijak pada mazhab, dapat mengakomodir tradisi masyarakat muslim di Nusantara. Dengan cara bermazhab pula, orang-orang NU menerima sepenuh hati NKRI. Lahir-batin. Zhahiran wa bathinan. Siyasatan wa syar’an. Lafzhan wa ma’nan. Orang NU menggunakan NKRI sebagai sarana melaksanakan ajaran Islam. Menyebarkan syiar-syiar Islam di bumi Nusantara. Di sisi lain, kaum Islam kanan menolak mazhab, menolak tradisi Islam yang berkembang di Nusantara, dan belakangan mereka aktif menyuarakan anti-NKRI.
Orang NU melalui tradisi-tradisi kolosalnya seperti maulid, tahlil, ziarah makan pendahulu, dan lain sebagainya menjadi semakin islami dan nasionalis. Meyakini bahwa NKRI adalah wadah yang representatif digunakan untuk mengamalkan ajaran Islam. Wahana memperbanyak amaliah yang penuh pahala.
Sedangkan kelompok Islam kanan melalui paradigma kembali kepada Alquran dan Sunnah, membonsai tradisi-tradisi islami Nusantara, dan terakhir berupaya membonsai NKRI. Islam minimalis model mereka, bukan hanya akan membabat habis kekayaan khazanah keilmuan Islam, kitab kuning, silsilah keguruan, kekayaan tradisi islami Nusantara seperti maulid dan tahlil, tapi juga akan membabat Pancasila, ideologi yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang juga para ulama.
Berangkat dari realitas, problematika dan dialektika dalam sejarah berikut sebuah kaidah ma kana aktsaru fi’lan kana aktsaru fadhlan inilah bisa dipahami kemudian mengapa NU cenderung menolak kelompok “Islam Kanan”.