Harakah.id – Syekh Ahmad Al-Rifa’i menyebut, jika ada anggota thariqahnya yang mencari dunia dengan karamahnya, maka beliau berlepas diri darinya.
Dalam budaya masyarakat Indonesia, dikenal istilah kesaktian. Kesaktian diartikan semacam kekuatan yang diyakini ada dalam diri seseorang atau benda. Dengan kekuatan itu, pemiliknya dapat mengontrol dunia sekitarnya. Kesaktian berbentuk fenomena yang tidak lumrah atau “Menyelisihi hukum sebab-akibat”.
Dunia pemikiran bangsa Indonesia yang mistis ini di satu sisi rawan dalam kemusyrikan. Tetapi, di sisi lain, dapat menjadi pintu masuk dalam menerima ajaran Islam. Hal ini karena, dalam bagian tertentu agama Islam juga mengenal konsep sejenis. Yaitu karamah. Karamah merupakan konsep sufistik yang berarti adalah perkara yang menyelisihi hukum sebab-akibat yang muncul pada seorang yang beriman.
Karamah secara Bahasa berarti “kemuliaan”. Dalam istilah para ulama, karamah. Syarif Al-Jurjani (w. 816 H.) menjelaskan,
ظهور أمر خارق للعادة من قبل شخص غير مقارن لدعوى النبوة، فما لا يكون مقرونًا بالإيمان والعمل الصالح يكون استدراجًا. وما يكون مقرونًا بدعوى النبوة يكون معجزة.
Karamah adalah munculnya fenomena yang menyelisihi hukum sebab-akibat tanpa disertai pengakuan sebagai nabi. Jika tidak disertai dengan keimanan dan amal sholeh, maka ia disebut istidraj. Jika disertai dengan pengakuan sebagai nabi, maka ia disebut mukjizat. (Al-Ta’rifat, hlm. 184).
Di masyarakat, berkembang anggapan yang menyamakan antara karamah dan kesaktian. Hal ini menyebabkan ada cukup banyak orang yang belajar Islam, melalui guru-guru thariqah. Ketertarikan mereka adalah karena ada harapan mereka akan mendapat ilmu linuwih yang dapat memudahkan hidup mereka selama di dunia. Bisa dikatakan, mereka ingin mendapatkan kekuatan gaib. Sejatinya, mereka adalah orang-orang awam, belum mengerti dengan baik dasar-dasar agama. Mereka ingin mendapatkan kehormatan atau kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Karamah sejatinya merupakan salah satu konsep dalam ajaran Islam yang disepakati eksistensinya. Imam Al-Kalabadzi (w. 380 H.) menulis,
اجْمَعُوا على إِثْبَات كرامات الْأَوْلِيَاء وَإِن كَانَت تدخل فِي بَاب المعجزات كالمشي على المَاء وَكَلَام الْبَهَائِم وطي الأَرْض وَظُهُور الشئ فِي غير مَوْضِعه وَوَقته وَقد جَاءَت الْأَخْبَار بهَا وَصحت الرِّوَايَات ونطق بهَا التَّنْزِيل
Para ulama bersepakat menetapkan adanya karamah para wali. Walaupun karamah tersebut masuk dalam jenis mukjizat, seperti berjalan di atas air, berbicara dengan hewan, melipat bumi, munculnya jenis buah pada selain tempat dan musimnya. Hadis-hadis shahih datang menjelaskan, dan ayat-ayat Al-Quran menyebutkannya. (Al-Ta’arruf Li Madzhab Ahli Al-Tashawwuf, hlm. 71)
Dengan demikian, karamah adalah perkara yang disepakati keberadaannya oleh para ulama Islam. Karamah muncul pada diri seorang mukmin yang beramal shalih. Jika tidak memiliki keimanan dan amal shalih, kesaktian yang diperoleh seseorang tidak disebut sebagai karamah. Tetapi disebut sebagai istidraj (ujian keburukan).
Syekh Muhammad Abul Huda Afandi Al-Shayyadi Al-Rifa’i, tokoh besar dalam thariqah Rifa’iyyah, menyebutkan dalam kitab Al-Qawa’id Al-Mar’iyyah Fi Ushul Al-Thariqah Al-Rifa’iyyah sejumlah syarat diperbolehkannya dimunculkannya karamah;
اشترطوا اظهار هذه الاسرار في مواطين الاول تجاه المنكر من غير هذه الامة المحمدية بنية ارشاده للصواب الثاني لاستخلاص مظلوم من ظالم ولاماتة بدعة واحياء سنة بنية جمع القلوب على الله تعالى لوجه الله لالغرض من أغراض الاكوان مطلقا
Para ulama mensyaratkan kebolehkan menampilkan ilmu rahasia ini dalam beberapa tempat; pertama, ketika menghadapi orang yang ingkar dari golongan di luar umat Nabi Muhammad dengan niat menunjukkannya kepada kebenaran. Kedua, menyelamatkan orang yang terzalimi dan memusnahkan bid’ah dan menghidupkan sunnah, dengan niat menakhlukkan hati orang agar mau mengenal Allah, menakhlukkan hati itu untuk mendapatkan ridha Allah, bukan untuk mendapatkan keuntungan duniawi. (hlm. 34)
Syekh Muhammad Al-Shayyadi mengutip penjelasan pendiri thariqah Rifa’iyah,
قال صاحب الطريقة الغوث الاعظم سيدنا السيد أحمد الرفاعي رضي الله عنه من أيده الله لنصرة الدين او لتخليص جماعة من المسلمين من ورطة سوء الظن بالفقراء ومعاداة الاولياء فظهرت الخارقة على يده لهذه الامرين لابأس به عليه ومن اتخذ الكرامة التي أكرم الله بها أولياءه شبكة لصيد الدرهم والدينار فليس مني وأنا بريئ منه في الدنيا والاخرة
Pendiri thariqah, yaitu al-Ghautsul A’zham Sayyid Ahmad Al-Rifa’i, radiyallahu anhu berkata, “Barang siapa diberi kekuatan oleh Allah untuk menolong agamanya atau menyelamatkan golongan umat Islam dari jahatnya suuzan kepada para sufi dan wali, lalu muncul karamah di tangannya karena dua sebab tersebut, maka tidak ada masalah. Barang siapa menjadikan karamah yang mana Allah telah memuliakan wali-walinya dengan karamah tersebut sebagai alat mendapat dirham dan dinar, maka dia bukan golonganku. Saya berlepas diri dari perbuatannya, dunia akhirat. (hlm. 34)
Demikian lah sudah sangat jelas bahwa kita harus berhati-hati dalam mengamalkan thariqah. Jangan sampai kita salah niat. Misalnya, niat mendapatkan kesaktian atau karamah, yang mana kemudian digunakan untuk meraup keuntungan duniawi. Mendapatkan harta, jabatan, atau pengaruh di masyarakat. Ini adalah perbuatan yang tidak benar. Syekh Ahmad Al-Rifa’i menyebut, jika ada anggota thariqahnya yang demikian, maka beliau berlepas diri darinya.