Harakah.id – Chanel Youtube Front TV hilang dari peredaran. Misteri hilangnya channel YouTube Front Pembela Islam ini menambah daftar panjang saluran komunikasi kelompok oposisi tersebut. Apakah fenomena ini dapat dianggap menyerimpung praktik demokrasi di Indonesia?
Sejumlah pemberitaan media menyebut bahwa akun Youtube Front Pembela Islam (FPI), akun Front TV, hilang dari peredaran. Para netizen tidak akan dapat menemukan video ataupun akun FrontTV dalam pencarian YouTube.
Mengutip dari cnnindonesia.com, “Akun saluran (channel) YouTube milik Front Pembela Islam (FPI), Front TV, dikabarkan hilang dari layanan streaming video itu. Jika dilakukan pencarian di Youtube dengan kata kunci ‘Front TV’, maka tidak muncul rekomendasi pada saluran televisi milik FPI itu.”
Sebelumnya, cnnindonesia.com mengabarkan bahwa akun Twitter DPP FPI juga tidak bisa diakses. “Akun Twitter Front Pembela Islam (FPI) dengan alamat @DPPFPI_ID tidak bisa dibuka sejak Jumat (20/11) pagi. Dalam akun twitter FPI tertulis akun tersebut telah disuspend.” Demikian tulis CNN Indonesia.
Dalam penelusuran CNN Indonesia, tak bisa diaksesnya Front TV adalah karena setting akun telah diubah menjadi privat. Sedangkan kasus Twitter berbeda dimana akun Twitter DPP FPI dianggap telah melanggar aturan.
Menyikapi fenomena tersebut, AS Hikam, pengamat politik nasional, membuat analisis yang di akun Facebooknya. Bahwa fenomena ini mengarah fungsi ganda korporasi IT. Di satu sisi, para pemilik perusahaan IT seperti YouTube dan Twitter merupakan institusi yang dapat memperkuat demokrasi. Demokrasi meniscayakan partisipasi individu warga negara secara bebas dan terbuka. Teknologi telah membantu warga negara menyuarakan aspirasinya secara bebas yang dijamin dalam demokrasi. Tetapi, di sisi lain, korporasi IT juga dapat menjadi alat untuk melakukan sensor terhadap aspirasi warga negara.
Dalam status Facebooknya, AS Hikam menulis:
Dua Wajah Korporasi IT: Sebagai Alat Sensor Atau Penguat Demokrasi
Setelah FB melakukan “take down” terhadap postingan dan status-status yang menyebut nama terang sang imam, kini giliran YouTube melakukan take down terhadap akun Front TV yang dikenal sebagai milik salah satu organisasi pendukungnya. Apakah Twitter dll juga ke depan akan melakukan hal sama? Masih bisa jadi bahan spekulasi, walaupun orang akan menebak demikian.
Adanya indikasi “sensor” yang sedang dilakukan oleh beberapa korporasi-korporasi IT raksasa (Facebook, YouTube, Google, dll), dalam konteks Indonesia, jelas merupakan sebuah laku yang potensial menabrak salah satu prinsip demokrasi, dalam hal ini kebebasan berekspressi dan perbedaan pendapat di ruang publik. Korporasi, sebesar dan sekuat apapun ia, bukanlah sebuah negara atau pemerintah yang dalam situasi tertentu memang diberi hak oleh aturan hukum (nasional maupun inteenasional) untuk bisa melakukan pembatasan terbatas thd hak-hak asasi warga negaranya.
Argumentasi yang sering dipakai oleh korporasi bahwa mereka punya standar komunitas (community standards) bagi penggunanya ( yang juga menyetujui untuk mengikutinya), masih debatable apakah legitimate sebagai alat sensor tersebut. Sebab, untuk mengajukan keluhan dan protes ke pengadilan melawan “sensor” tersebut, bukan saja sangat mahal ongkosnya, juga prosesnya bakal lama.
Korporasi, termasuk yang memiliki hegemoni dalam mengontrol informasi, adalah sebuah fenomen yang bisa menjadi alat kekuasaan untuk menyerimpung praksis demokrasi. Meskipun juga pada saat yang sama mereka juga bisa menjadi alat pencerah dan edukasi kepada warganegara untuk memerkuat gagasan dan ide demokrasi.