Harakah.id – Munkar dan Nakir datang kepada orang yang telah dikuburkan. Mereka akan menguji dengan memberi sejumlah pertanyaan. Apakah anak-anak juga akan diberi ujian pertanyaan?
Banyak hadits yang menyebutkan bahwa setiap orang akan diuji dengan pertanyaan kubur oleh Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir, namun bagaimana jika yang meninggal masih dikategorikan anak-anak (belum tamyiz dan belum baligh)? Apakah anak-anak juga mendapatkan ‘berondongan’ pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir?
Jawaban untuk pertanyaan ini terbagi atas dua jawaban (terdapat perbedaan pendapat atau ikhtilaf), yakni jawaban pertama menganggap anak-anak juga akan diuji dengan pertanyaan kubur dan jawaban kedua menganggap anak-anak tidak diuji dengan pertanyaan kubur. Dua jawaban tersebut disertai dengan dalil-dalil yang mendukung argumentasinya.
Kelompok pertama (yang menganggap anak-anak juga diuji dengan pertanyaan kubur) berpegang pada tetap disyari’atkan untuk menshalati jenazah anak-anak, mendoakannya, dan memintakan perlindungan kepada Allah dari siksa serta fitnah kubur. Hujjah ini diperkuat dengan hadits yang disebutkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwatha’-nya dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad menshalati jenazah anak kecil (Shoby) dan Abu Hurairah mendengar bahwa Nabi Muhammad berdoa: “Ya Allah, lindungi (jenazah anak kecil ini) dari siksa kubur”.
Kelompok pertama juga berhujjah dengan hadits riwayat Hannad bin as-Sary, dari cerita Abu Mu’awiyah, dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin Musayyab, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa jika Nabi Muhammad menshalati orang yang berbuat dosa (akan mendapatkan siksa kubur), maka Nabi Muhammad akan berdoa: “Ya Allah, selamatkanlah Ia dari siksa kubur”. Hadits yang ditulis oleh Imam Malik sebelumnya (Nabi Muhammad berdoa untuk anak kecil), diperkuat oleh hadits ini (doa Nabi Muhammad menunjukkan bahwa anak-anak juga diuji dengan pertanyaan kubur).
Kelompok kedua (yang menganggap anak-anak tidak diuji dengan pertanyaan kubur) berargumen dengan dalil: pertanyaan hanya diajukan kepada orang yang mampu merenungi (memikirkan) hakikat seorang Rasul dan ajaran yang dibawa oleh Rasul, sehingga ketika ada pertanyaan tentang Rasul dan syari’at yang dibawa, pertanyaan tersebut bisa dijawab. Dalam hal ini, anak-anak masih belum bisa memahami dan merenungi tentang hakikat seorang Rasul dan ajaran yang dibawa, jadi tidak mungkin anak-anak diuji dengan pertanyaan kubur.
Kelompok kedua memaknai hadits dari Abu Hurairah yang tercantum dalam kitab Muwatho’-nya Imam Malik dengan makna yang berbeda dengan kelompok pertama. Permohonan untuk melindungi anak-anak dari siksa kubur bukan bermakna hukuman yang dijatuhlan kepada anak-anak karena perbuatan maksiat, namun ‘siksa kubur’ yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah penderitaan yang dirasakan oleh anak-anak sebab orang lain. Misalnya seorang jenazah yang disiksa karena tangisan (tangisan dengan suara keras) keluarganya yang masih hidup. Jadi, yang dimaksud dari ‘lindungi anak-anak dari siksa kubur” adalah penderitaan yang dirasakan oleh anak-anak sebab orang lain, bukan karena perbuatan maksiat.
Lalu, mana pendapat yang paling benar? Hanya Allah yang lebih tahu dengan benar. Sesekali manusia perlu merenungi, tidak hanya menghakimi tentang benar dan salah.