Harakah.id – Banyak pihak menyebut FPI identik dengan NU. KH. Sahal Mahfudh menegaskan, “FPI bukan NU” dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo pada 2008 silam. Warga NU yang menjadi simpatisan FPI perlu tahu ini.
Mulai hari ini, Rabu (30/12/2020), Pemerintah Indonesia resmi melarang organisasi Front Pembela Islam (FPI). Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Lembaga Tinggi Negara. Keputusan tersebut dikeluarkan setelah melalui proses yang panjang.
Sepak terjang organisasi Front Pembela Islam (FPI) telah lama meresahkan masyarakat. Sekalipun pernah meminta maaf atas kasus-kasus yang menimpa para pemimpinnya, organisasi tersebut masih terus melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat.
Pandangan para tokoh agama Islam terkemuka seringkali bernada menyesalkan akan keberadaan organisasi tersebut.
Pada tahun 2008, terjadi insiden Monas. Insiden ini terjadi karena Front Pembela Islam (FPI) menyerang para demonstran yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Salah satu yang menjadi korban kekerasan saat itu adalah Sinta Nuriyah Wahid, istri mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid.
Akibat insiden tersebut polisi memburu anggota FPI yang terlibat. Para tokoh nasional mengecam penyerangan yang melukai mantan ibu Negara tersebut. Salah satu yang paling keras memberikan pernyataan adalah KH. Ahmad Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU Periode 1999-2014 sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2000-2014. Dua jabatan tertinggi dalam organisasi keislaman tersebut menunjukkan kapasitasnya yang luar biasa di hadapan para ulama di Indonesia.
Dalam sebuah wawancara Majalah Tempo edisi 32/XXXVII 29 September 2008, KH. Sahal Mahfudh memberikan tanggapannya terhadap organisasi yang sering bikin onar tersebut. Dalam majalah tersebut, wartawan bertanya kepada Kiai Sahal, “Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, bagaimana Anda menyikapi perseteruan antara Front Pembela Islam dan kelompok pembela Ahmadiyah, yang konon sama-sama berasal dari Nahdlatul Ulama?”
Kiai Sahal menjawab sekaligus menegaskan, “Front Pembela Islam itu bukan Nahdlatul Ulama. Meskipun FPI itu didirikan oleh habaib. Jadi, FPI bukan NU, dan amaliahnya berbeda. Wong FPI itu Wahabi kok, sementara NU itu Ahlussunnah Wal Jamaah.”
Sang wartawan kemudian bertanya lagi, mengklarifikasi hubungan FPI dan NU, “Bukannya Nahdlatul Ulama juga mengakui habaib?”
Kiai yang ahli fikih tersebut menjawab, “Wahabi itu tidak cocok dengan Indonesia, karena Wahabi hanya mengenal Al-Quran dan sunah. Yang tidak ada dalam Al-Quran dan sunah dianggap sesat. Kalau ini diterapkan di Indonesia, tidak cocok. Kita majemuk, kaya budaya dan tradisi. Sepanjang tidak bertentangan, meski tidak disebut di dalam Al-Quran atau sunah, tidak apa-apa.”
Jawaban ini menurut peneliti Duke University, Chaider S. Bamualim, menarik mengingat Kiai Sahal menegasikan segala bentuk hubungan antara FPI dan NU. Kiai Sahal bahkan mengidentikkan FPI sebagai Wahabi. Gerakan Islam dari Arab Saudi yang berusaha menerapkan ajaran Islam secara formal melalui kekerasan. Kiai Sahal menyatakan bahwa “Wahabi tidak cocok dengan Indonesia.” “Wahabi” dalam pernyataan Kiai Sahal ini merujuk kepada model gerakan FPI yang menghalalkan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda.
Sekalipun secara kultural, ada kemiripan antara FPI dan NU seperti dari aspek amaliah dan budaya menghormati habaib, nyatanya dalam pandangan Kiai Sahal, hal itu tidak serta merta membuat FPI adalah NU dalam wajah yang lain. Kiai Sahal menegasikan hal itu. Amaliah warga NU bukan hanya soal amaliah ubudiyah serta menghormati habaib, tetapi juga amaliah dalam hal aksi-aksi sosial dan politiknya.
Dalam NU, memang dikenal tiga matra yang menentukan jati diri ke-NU-an yang meliputi Fikrah, Amaliah dan Harakah. Pemikiran, amalan dan gerakan. Jika ditilik mendalam, antara FPI dan NU jelas memiliki fikrah, amaliah dan harakah yang berbeda. Hal ini perlu ditegaskan oleh Kiai Sahal agaknya agar warga Muslim Indonesia, khususnya warga NU, dapat memahami perbedaan keduanya.
Demikian pandangan KH. Sahal Mahfudh terhadap Front Pembela Islam (FPI). Organisasi yang baru saja dibubarkan secara resmi oleh pemerintah. Ketegasan pemerintah dalam hal ini diapresiasi banyak pihak. Tetapi, sebagian aktivis demokrasi mencatatnya sebagai bagian dari kemunduran demokrasi di Indonesia.