Harakah.id – Seorang dosen di UIN Bandung menyebut gerakan Islam modernis di Indonesia mengalami kegagalan. Inilah penyebab kegagalan gerakan Islam modernis di Indoesia dalam seratus tahun terakhir.
Ada sebuah pondok yang didrooping buku buku karya Sayyid Quth Tokoh gerakan harakah modernis Islam. Tapi buku buku tersebut hanya nangkring di perpustakaan pondok, tanpa ada satupun santri yang membacanya. Usut punya usut, buku tersebut tidak dibaca karena tidak dianggap sebagai turats atau kitab kuning yang bisa memberikan berkah/barokah.
Berbicara gerakan modernis dalam hal aqidah (kontra TBC), politik (pan islamisme) ataupun sains (rasionalisme) dalam gerakan Islam abad ke-20, biasanya tidak akan jauh jauh untuk merujuk kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab (abad ke 17), Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1845- 1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).
Pembaharuan yang dipakai untuk menghantam kelompok tradisional, atau lawan dari modernis itu sendiri, menurut Jalalaluddin Rahmat (1991) dalam bukunya Islam Aktual, dengan cara dan memberikan dampak :
- Depribumisasi /Deindegiouneusasi (hal 27)
- Demistifikasi (hal 28)
- Degaibisasi (hal 28)
- Deinstitusionisasi (hal 28)
- Deintegrasi (hal 29)
Kabar baiknya, dalam 100 tahun terakhir cara cara dan gerakan pembaharuan yang dimaksud, tidak membuahkan hasil yang menggembirakan, atau mengalami kegagalan. Berbeda dengan yang ada di luar Nusantara. Mengapa bisa demikian? Nah, tulisan Moeflih Hasbullah berusaha menjawab penyebabnya dalam artikel berjudul “A century of Muhammadiyah – Nahdlatul Ulama : The Failure of Islamic Modernism?”, yang diterbitkan oleh Islamika Indonesiana, 17 – 32, 2014 sebagai berikut:
- Gerakan pembaharuan di atas tidak sepenuhnya tulus, akan tetapi ada kepentingan tersendiri.
- Tradisional dan Modern itu sendiri vis a vis mempunyai perspektif yang berbeda dan sukar sekali untuk dipertemukan. Apalagi dalam gerakan gerakan modernis di atas bercampur dengan kepentingan politis secara sepihak.
- Tradisionalisme/Adat Istiadat yang begitu mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Nusantara
- Mengeliminasi peran Budaya dan tradisi seperti yang digaungkan oleh modernis itu sendiri malah merugikan Islam. Saya jadi teringat dengan dawuh Kiai Said Agil Siradj dalam beberapa orasi ilmiahnya, “Selalu Jadikan Budaya sebagai Infrastruktur Agama dan jangan mempertentangkannya.”
- Tradisionalis yang ada di Indonesia (baca: NU) memiliki tradisi intelektualisme yang kuat dan selalu berkembang yang dalam beberapa hal jauh melebihi modernis puritanis itu sendiri.
Closing tulisan Moeflih Hasbullah yang menurut saya nendang banget dan perlu diperhatikan oleh kelompok atau gerakan modernis ialah: Tantangan dari Islam yang ada di Nusantara bukanlah tradisionalis (kaum yang dianggap pemuja TBC), tapi lebih pada tantangan akan kebodohan dan kemiskinan yang diderita oleh ummat Islam di Nusantara (Fathul Huda Sufnawan).