Harakah.id – Setelah dua puluh tahun lebih reformasi, para tokoh agama tersebut dapat dikelompokkan dalam tujuh tipologi mengenai sikapnya terhadap NKRI.
Ulama bagi masyarakat Muslim punya posisi penting. Ulama menjadi penghubung warga masyarakat Muslim dengan sumber ajaran agama; kitab suci. Secara sosial, politik dan terkadang ekonomi, ulama punya posisi tersendiri. Perjalanan bangsa Indonesia, tidak dapat dilepaskan pula dari peran para ulama di berbagai penjuru Nusantara.
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca reformasi, terdapat keragaman tipologi. Khususnya berkaitan dengan eksistensi negara bangsa Republik Indonesia. Setelah dua puluh tahun lebih reformasi, para tokoh agama tersebut dapat dikelompokkan dalam tujuh karakteristik mengenai sikapnya terhadap NKRI. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Burdah ddk dalam buku “Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan; Fragmentasi Otoritas Keagamaan di Kota-kota Indonesia” (PusPIDep, 2019), ketujuh golongan tersebut adalah: progresif, inklusif, moderat, konservatif, ekseklusif, radikal, dan ekstrem.
Tujuh Tipologi Ulama Indonesia
Pertama, golongan ulama progresif. Burdah dkk mengartikan sebagai ulama yang secara aktif anti-kekerasan, pro-sistem, toleran, dan pro-kewargaan.
Kedua, golongan ulama inklusif. Ulama inklusif adalah ulama yang secara pasif anti-kekerasan dan pro-sistem, tapi secara aktif toleran da pro-kewargaan.
Ketiga, golongan ulama moderat. Ulama moderat adalah kategori ulama yang secara pasif anti-kekerasan, pro-sistem, toleran dan pro-kewargaan.
Keempat, golongan ulama konservatif. Yaitu ulama yang secara pasif anti-kekerasan, pro-sistem, dan toleran, tapi secara aktif anti-kewargaan.
Kelima, golongan ulama ekseklusif. Ulama yang secara pasif anti-kekerasan dan pro-sistem, tapi secara aktif intoleran dan anti-kewargaan.
Keenam, golongan ulama radikal. Karakter ulama yang yang secara pasif anti-kekerasan, tapi secara aktif anti-sistem, intoleran, dan anti-kewargaan.
Ketujuh, golongan ulama ekstrem. Ulama yang secara aktif pro-kekerasan, anti-sistem, intoleran dan anti-kewargaan.
Siapakah Ulama
Dalam buku “Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan”, yang dimaksud ulama adalah seseorang yang memiliki otoritas keagamaan di masyarakat. Ada dua kategori, yaitu ulama yang memiliki otoritas keagamaan tradisional (traditional religious authority) dan ulama yang memiliki otoritas keagamaan baru (new religious auhtority). Yang pertama adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang pendidikan agama secara formal dalam arti, mengkaji dan mendalami teks-teks keislaman secara khusus, baik melalui institusi pendidikan seperti pesantren, universitas Islam terkemuka dunia seperti Al-Azhar, Ibnu Saud, Tarim Hadramaut dan UIN/IAIN maupun yang mempelajari secara khusus melalui tradisi majelis taklim yang ketat. Melalui proses pendidikan semacam itu, mereka mendapatkan otoritas untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan.
Sedangkan otoritas keagamaan baru adalah orang-orang yang umumnya mendapatkan pengetahuan agama melalui sumber-sumber yang tersedia dan mudah diakses seperti buku-buku terjemahan, penajian dan mendnearkan serta mengikuti pengajian di media baru seperti televisi dan internet. Dalam kajian akademis, otoritas keagamaan baru ini disebut juga sebagai religious enterpreneur karena kemampuan mereka dalam mengemas pesan-pesan keagamaan melalui berbagai mediuam seperti tulisan, pelatihan dan video pendek dan disampaikan melalui media baru sehingga menjangkau permirsa yang lebih luas.
Demikian Tujuh Tipologi Ulama Indonesia dalam sikap mereka terhadap NKRI. Anda yang ingin mendapatkan detail tentang bagaimana karakterisitik ini dibentuk, silakan baca buku “Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan” yang dieditori oleh Ibnu Burdah, dkk.