Harakah.id – Masa darurat Covid 19 sudah dijalankan. PPKM diperketat sampai tanggal 20 Juli. Tapi masih ada saja tokoh masyarakat yang mengajak untuk melawan kebijakan ini. Bukan justru mendukung, ulama kok bikin gaduh.
Indonesia saat ini masih belum siap hidup normal seperti biasanya. Nyatanya covid-19 di Indonesia berkembang dengan sangat cepat di Juni dan Juli 2021, karena ada varian baru Covid-19 yang lebih berbahaya dari sebelumnya. Sebagai langkah darurat Covid 19, akhirnya pemerintah pun langsung bergerak cepat membuat kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat (PPKM Darurat) di lokasi tertentu di Jawa-Bali, berlaku pada 3-20 Juli 2021.
Kebijakan ini belum bisa dipastikan efektif, karena masih dalam proses percobaan. Dalam kajian kebijakan itu sendiri banyak hal yang harus dipertimbangkan. Toh juga kebijakan ini dibuat karena kebijakan sebelumnya masih belum efektif. Sedikit berbeda dengan kebijakan sebelumnya. PPKM darurat ini sedikit lebih ketat dan pemerintah cukup berani mengambil langkah ini. Tinggal bagaimana pemerintah bisa mengkomunikasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat agar bisa dipatuhi.
Ini penting, banyak dari kalangan masyarakat tidak terima dengan kehadiran kebijakan ini. Apalagi sebagian kalangan umat muslim beranggapan, PPKM ini sangat mendiskriminasi mereka. terbukti banyak pemuka agama yang mengorasikan untuk tidak tunduk kepada kebijakan ini.
Ini berbahaya sekali. Pemerintah harus bisa mengatasi hal seperti ini. Harus memberikan edukasi kepada masyarakat melalui tokoh-tokoh agama. Bagaimana mekanisme dan dinamika PPKM ini. Langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah mengajak kolaborasi. Pemuka agama harus diberikan panggung untuk menyuarakan kebijakan ini dengan perspektif mereka. Dengan kolaborasi antara pemerintah dan tokoh agama, kebijakan seperti ini bisa mudah diterima bagi masyarakat.
Misalnya menyuarakan tentang pelarangan shalat berjamaah di masjid, yang untuk saat ini kegiatan itu dipindahkan ke rumah masing-masing. Kasus seperti ini akan ditanyakan kembali, terkait status kewajiban shalat Jumat, apakah mengabaikan keputusan pemerintah dengan tetap melakukan Jumatan seperti biasanya atau justru mengikuti keputusan pemerintah dengan meninggalkan Jumatan?
Pertanyaan ini sudah direspon oleh para ulama pada masa awal covid tahun 2020. Satu sisi tetap mewajibkan shalat jumat seperti biasa dengan regulasi yang ketat, di sisi yang lain status kewajiban shalat jumat dihilangkan (ta’til al-jum’ah). Perbedaan ini terjadi, bagaimana mengaktualisasikan teks nash pada realita (تخريج المناط / takhrij al-manat).
Konsiderasi para ulama dalam memberikan pendapat sangat beragam, salah satunya keputusan LBM (Lembaga Bahtsul Masail) PBNU tahun 2020, bahwa shalat Jumat di zona merah covid-19 dilarang, sebagai gantinya, umat Islam wajib shalat zuhur di rumahnya masing-masing. Sementara masyarakat muslim tinggal di zona kuning, dianjurkan untuk mengambil rukhshoh-tidak shalat Jumat. Pandangan ini sejalan dengan prinsip maqâshid al-syarî’ah, bahwa menjaga jiwa manusia (hifdz al-nafs) lebih didahulukan dari menjaga agama (hifdz al-din; shalat Jumat). Kewajiban bisa gugur dengan adanya udzur syar’i.
Belum lagi menyangkut nyawa. Pemuka agama harus menyuarakan bahayanya virus ini. Bagaimana dampaknya bagi keluarga. Dalam Islam diajarkan, bahwa kemaslahatan publik itu harus didahulukan daripada kemaslahatan individu (al-maslahah al-‘âm muqaddamun alâ al-maslahah al-fard). Kita juga harus memikirkan nasib keluarga di mana di dalamnya terdapat perempuan dan anak-anak, sebagai pihak yang paling rentan dan paling beresiko terdampak Covid-19. Jangan sampai kehadiran kita membawa bencana bagi mereka. Saat ini hampir 50 persen penularan covid berimbas kepada anak-anak, di mana separuhnya yang meninggal itu adalah balita. Ini sangat mengkhawatirkan.
Membawa virus dari luar, kita tahu itu berbahaya dan berdampak kepada istri dan anak, itu sama saja kita membunuh mereka tidak sengaja. Dalam legal formal (fiqih) ini tergolong kriminal dan mendapatkan diyat. Dan virus ini juga bisa berdampak kepada nyawa sendiri, bila kita tahu itu berbahaya dan kita mengabaikannya maka itu sama saja kita bunuh diri. Al-Quran sangat mengutuk tindakan bunuh diri sebagaimana dijelaskan QS. al-Nisa [4]: 29.
Alhasil, tokoh agama jangan suka membuat gaduh umat di masa darurat covid-19. Tokoh agama harus hadir memberikan semangat, dukungan, dan edukasi kepada umat agar tetap tenang dan waspada. Mengutarakan perbedaan pandangan itu sah-sah saja. Karena itu hanya bersifat ijtihadi, bila benar maka mendapatkan dua pahala.
Sebaliknya, bila salah maka mendapatkan satu pahala. Bila mengikuti perintah ulil amri-presiden-dan benar ijtihadnya maka mendapatkan tiga pahala. Tapi jangan memprovokasi umat untuk menolak kebijakan pemerintah, karena membuat kegaduhan, dan akibat pandangannya menyebabkan orang berkerumun kemudian tertular covid-19 itu sama saja berdosa.
Selagi kebijakan itu sesuai dengan fondasi kemaslahatan, harus didukung, sebagaimana perkataan Imam As-Suyuthi dalam kitab al-Asybâh wa al-Nazhâir fî al-furû’ dan Abi Al-Hasan Al-Mawardi dalam kitab al-Ahkâm al-Sulthâniyyah: tasharrufu al-imâm ‘alâ al-ra’iyyah manûthun bi al-maslahah (kebijakan pemerintah pada rakyatnya dibebankan pada kemaslahatan).